Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2012

SALLEKHA SUTTA (Penghapusan)

Gambar
MAJJHIMA NIK Ᾱ YA SALLEKHA SUTTA (Penghapusan) v   Latar Belakang Sallekha sutta disampaikan oleh Sang Buddha ketika beliau  berdiam di Savatthi di hutan Jeta taman Anathapindika. Sallekha sutta berisi tentang pandangan-pandangan salah tentang atta dan loka hanya dapat dihilangkan oleh pandangan terang vipassana. Beliau menjelaskan sutta ini kepada Maha Cundha. v   Pembahasan     Sallekha sutta berisi tentang penghapusan pandangan-pandangan yang dianggap salah oleh Sang Buddha. Bahwa dengan melaksanakan meditasi pandangan-pandangan salah akan dapat terhapuskan. Pandangan salah dalam Sallekha Sutta  adalah pandangan salah tentang yang bersifat atta (tanpa aku) dan loka (yang terjadi dalam dunia). Seseorang menganggap dengan menahan diri dari 44 macam perbuatan buruk saja sudah merupakan praktek yang keras untuk menghilangkan  kekotoran moral.   Ada 44 cara penghapusan Praktek keras untuk menghilangkan kekotoran moral (cara Penghapusan kekotoran moral):       (1

DHAMMADᾹYᾹDA SUTTA (Pewaris Dhamma)

Gambar
MAJJHIMA NIK Ᾱ YA DHAMMAD Ᾱ Y Ᾱ DA SUTTA (Pewaris Dhamma) v   Latar Belakang             Sang Buddha menyampaikan sutta ini saat beliau berdiam di Savatthi di hutan Jeta taman Anathapindika, karena saat itu banyak para Bhikkhu terlalu gembira terhadap berbagai perolehan dan penghormatan yang tercurah pada Sangha, sehingga mereka mengabaikan spiritual mereka. Sang Buddha menjelaskan bahwa para Bhikkhu jadilah pewaris di dalam Dhamma, bukan pewaris di dalam hal-hal materi agar mereka tidak tercela. Sutta ini terdiri dari 2 khotbah yaitu yang disampaikan oleh Sang Buddha sendiri dan oleh Bhante Sāriputta. v   Khotbah dari Sang Buddha Bahwa para Bhikkhu jadilah pewaris dalam Dhamma bukan pada hal-hal materi, misalnya empat kebutuhan pokok para Bhikkhu (tempat tinggal, makanan, jubah, jarum dan obat-obatan) karena jika masih melekat pada hal-hal materi akan menjadi penghambat untuk menjadi pewaris dhamma dan mencapai Nibbhana. Sang Buddha mendesak para Bhikkhu untuk mewarisi Bod

Sabbhāsava Sutta

Sabbhāsava Sutta Latar Belakang Sutta ini dibabarkan kepada para Bhikkhu ketika Sang Bhagava sedang berdiam di Savathi di hutan Jeta, Taman Anathapindika,. Dalam sutta ini Tathaghata mengajarkan tentang pengendalian semua noda. Beliau juga menyebutkan enam Micchaditthi tentang Atta (keakuan). Isi Sutta Buddha mengatakan bahwa noda-noda dapat dihancurkan bila seseorang dapat melihat dan memperhatikan apa yang sebenarnya dan apa yang tidak sebenarnya. Perhatian yang sebenarnya dan perhatian yang tidak sebenarnya. Bila seseorang tidak memperhatikan dengan benar maka munculah noda-noda baru dan bertambahlah noda-noda yang telah ada. Bila seseorang memperhatikan dengan benar, noda-noda yang akan timbul akan dapat dihindari dan noda-noda yang telah ada dapat dilenyapkan. Noda-noda dapat dihilangkan dengan melihat (dassana), pengendalian diri (samvara), penggunaan (patisevana), penahanan (adhivasana), penghindaran (parivajjana), penghapusan (vinodana), dan pengembangan (bhavana).

Akankheyya Sutta (Seandainya seorang bhikkhu berharap)

MAJJHIMA NIKAYA Akankheyya Sutta (Seandainya seorang bhikkhu berharap) Ø   Latar belakang Ketika sang buddha berdiam disavatti di hutan jeta, taman anathapindika. Sang buddha mengatakan berdiamlah dengan memiliki moralitas. Sang buddha mengatakan bila seorang bhikkhu memiliki keinginan-keinginan maka berdiamlah dengan memiliki moralitas,memiliki patimokkha, sempurna dalam prilaku. Dan melihat ketakutan didalam kesalahan yang paling kecil. Demikianlah yang dikatakan oleh yang terberkahi. Para bhikkhu merasa puas dan suka cita di dalam kata-kata yang terberkahi. Ø   Pembahasan Sutta ini membahas tentang harapan-harapan seorang bhikkhu dan bagaimana seorang bhikkhu harus mengembangkan sila, samadhi, panna. Seandainya ada seorang bhikkhu berharap akan disenangi dan menyenangkan, memperoleh 4 kebutuhan pokok, berharap akan menjadi pemasuk arus, semoga memiliki berbagai macam kekuatan supranormal, dan dapat mencapai nibbana, maka bhikkhu yang masih mempunyai harapan-harapan h

TRANSFER OF MERIT

Latar belakang Indonesia adalah negara yang terdiri dari bermacam-macam agama. Dari bermacam-macam agama tersebut mempunyai tradisi yang berbeda-beda dalam melakukan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Begitu pula di dalam agama Buddha, bagaimanakah bentuk penghormatan kepada keluarga yang telah meninggal? Oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis akan membahas Pattidana . Pembahasan Ø   Pattidana adalah m empersembahkan jasa kebajikan kepada para anggota keluarga yang telah meninggal. Jasa (puna ) dalam Agama Buddha bemakna sebagai perbuatan baik atau berguna, perbuatan yang tidak merugikan, yang dilakukan dengan hati suci, dan niat baik. Pattidana pertama kali dilakukan oleh Bhikkhu Monggallana yang mengadakan pelimpahan jasa kepada Ibunya pada masa Buddha Gotama. cerita ini terdapat dalam Ulambanapatra Sutra yang ditemukan pada kanon Cina. Cerita ini tidak ditemukan pada kanon pali dan Tibet. (Krisnanda Wijaya-mukti) Ø   Cara melakukan pelimpahan j

Mahasihanada Sutta (Khotbah Besar Mengenai Raungan singa)

Mahasihanada Sutta (Khotbah Besar Mengenai Raungan singa) -           Latar Belakan g Pada suatu ketika di Vesali, di hutan sebelah barat kota. Bhante Sariputta melaporkan pada Sang Buddha tentang penghinaan terhadap Sang Buddha yang dilakukan oleh Sunakkhatta (putra keluarga Licchavi) yang telah meninggalkan Ajaran (Dhamma dan Vinaya). Kemudian Sang Buddha menjelaskan khotbah besar mengenai raungan singa. -           Inti Su tta             Sang Buddha mengatakan bahwa S u nakkhatta tidak memiliki intelek yang cukup untuk sedikit pun dapat memahami sifa-sifa t luar biasa Sang Buddha seperti misalnya Sepuluh Kekuatan, 4 macam Keyakinan Diri Tertinggi Sabbannuta Nana yang tak mundur sampai parinibbana. Beliau menjelaskan 5 tujuan dan tindakan-tindakan yang membawa ke sana serta kepercayaan-kepercayaan yang salah, dan praktek-praktek para petapa telanjang yang kini merupakan kelompok Sunakkhata. Sepuluh kekuatan yaitu: 1.       Memahami sebagaimana adanya hal yang mungkin

Vatthupama Sutta

Majjima Nikaya Vatthupama Sutta -           Latar belakang Sutta Vatthupama dibabarkan langsung oleh Sang Buddha, ekaṁ samayaṁ Bhagava, Sāmayaṁ viharati, Jetavane anāthapiṇḍikassa, ārāme. Sang Buddha membabarkan Dhamma yang dimisalkan dengan sebuah kain. Kain putih, dan kain kotor dan ternoda. Sang Buddha menjelaskan pikiran yang kotor dan bersih, seperti halnya kain bersih yang dapat menyerap pewarna; demikian juga dengan pikiran yang dapat menyerap dan menahan Dhamma. “ pikiran diibaratkan dengan kain, dan Dhamma diibaratkan dengan Warna ”. -           Isi Sang Buddha mengibaratkan; 1.       sepotong kain kotor dan ternoda, lalu seorang pencelup mencelupkannya kedalam suatu pewarna, entah itu warna biru, kuning, atau merah; kain itu akan kelihatan buruk dan tidak murni warnanya. Demikian bila pikiran kotor, suatu tempat tujuan yang tidak bahagia bisa diharapkan. 2.       sepotong kain murni dan cerah, lalu seorang pencelup mencelupkannya kedalam suatu pewarna, entah b

Bhayabherava Sutta

Bhayabherava Sutta Ø Latar Belakang Khotbah ini menjelaskan tentang pertanyaan dari Brahmana J ā nussoni  kepada Sang Buddha di hutan Jeta, Taman An ā tapindikasa, mengenai bagaimana seorang bhikkhu menjalani kehidupan menyendiri di hutan terpencil yang mendatangkan kerugian dan bahaya bagi dirinya sendiri, serta menjelaskan bagaimana Sang Buddha menjalani kehidupan damai di hutan tanpa kerugian dan membawa beliau menuju pencerahan (Majjhima Nikaya I , 2004:159 - 160). Ø Pembahasan Menjalani kehidupan menyindiri di hutan belantara dan dipenuhi semak belukar  memang tidak mudah. Karena menjalani kehidupan menyediri sangat sulit untuk dipraktekkan dan dinikmati, hal inilah yang menyebabkan sebagian bhikkhu menganggap bahwa hidup menyendiri di hutan belantara dan dipenuhi semak belukar  akan mendatangkan kerugian dan bahaya bagi dirinya sendiri sebagai akibat dari pikiran, ucapan, dan perbuatanya yang tidak murni. Hal ini berbeda dengan yang dialami oleh Sang Buddha, San

PERAN UTU NIYAMA DALAM TERJADINYA BENCANA ALAM

PERAN UTU NIYAMA DALAM TERJADINYA BENCANA ALAM Di jaman sekarang banyak sekali terjadi bencana alam yang melanda bumi kita. Diantaranya banjir, tanah longsor, gempa bumi, dan angin puting beliung yang sering melanda bumi kita terutama di Indoneia. Semua itu sering kita jumpai pada waktu sekarang-sekarang ini. Bencana alam terjadi karena ulah manuaisanya itu sendiri yang merusak alam sehingga mengakibatkan bencana-bencana alam. Contonya seperti penebangan liar yang sering terjadi sehingga mengakibatan banjir dan bahkan tanah longsor. Menurut agama Buddha selain yang telah disebutkan diatas itu juga disebabkan karena utu niyama sudah tidah mengalami keseimbangan atau sudah tidak lagi teratur. Sekarang ini musim sudah tidak lagi teratur contohnya sekarang pada musim kemarau tapi masih saja turun hujan. Semua itu membuktikan bahwa hukum utu niyama yang terdapat dalam hukum tertib kosmos sudah tadak teratur lagi. Utu niyama yaitu hukum yang mengatur tentenang energi, temperatur, c

CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA

CAKKAVATTI SIHANADA SUTTA LATAR BELAKANG Sutta ini di babarkan oleh Sang Buddha kepada para Bhikkhu ketika berdiam di Matula kerajaan Magadha. Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu “jadikanlah dirimu sebagai pelita, berlindunglah pada dirimu sendiri, dan jangan berlindung pada yang lain, hiduplah dalam Dhamma sebagai pelitamu, Dhamma sebagai pelindungmu dan jangan berlindung pada yang lain”. ISI Sutta ini menjelaskan tentang: Kewajiban seorang Raja v   Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya. v   Seorang penguasa yang baik harus bebas dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya. v   Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan. v   Seorang penguasa  yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan. Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelen

Buddhisme dan Politik

Buddhisme dan Politik A.     Pendahuluan Awal terbentuknya negara tidak lepas dari awal terbentuknya suatu komunitas mayarakat. Dalam Aganna sutta, dijelaskan sebelum terbentuk satu keluarga, manusia hidup sebagai individu yang terpisah-pisah. Individu-individu bergabung membentuk kesatuan kelauarga. Keluarga-keluarga yang ada kemudian berkembang menjadi komunitas-komunitas kecil dalam satu suku dan pada akhirnya membentuk suatu sistem kemasyarakatan yang dinamakan negara. Di dalam sistem ketatanegaraan, terdapat seorang pemimpin yang menjadi panutan bagi setiap rakyatnya dan penggerak roda pemerintahan. Dalam menggerakkan roda pemerintahan, seorang pemimpin dan pembantu pemerintahan tidak lepas dari pengaruh politik baik untuk mempertahankan . Sebagian orang mengatakan politik adalah kotor. Banyak politikus yang menggunakan akal liciknya untuk meraih jabatan, kehormatan dan kekayaan. Politikus yang demikian tidak akan peduli dengan penderitaan orang lain. Hal semacam ini ten