Aṭṭhasīla Sebagai Pembentuk Kepemimpinan yang Baik


Aṭṭhasīla Sebagai Pembentuk Kepemimpinan yang Baik
by: Triyono

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Dalam hidup, manusia selalau berinteraksi dengan sesama serta dengan lingkungan. Manusia hidup berkelompok baik dalam kelompok besar maupun dalam kelompok kecil. Hidup dalam kelompok tentulah tidak mudah. Untuk menciptakan kondisi kehidupan yang harmonis anggota kelompok haruslah saling menghormati dan menghargai. Menjadi pemimpin dalam suatu kelompok kadang hanya untuk kepentingan pribadi mereka bukan sepenuhnya untuk melayani kelompok atau masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sekarang yaitu pemimpin yang melakukan koprupsi. Tidakan korupsi tersebut merupakan tindakan yang menguntungkan diri sendiri. Selain itu dalam kehidupan sekarang banyak pemimpin yang mencari kehormatan atau supaya dihormati dalam masyarakat kerena menjadi seorang pemimpin.
Dalam mencari jalan keluar untuk mengatasi peminpin yang kurang memperhatikan masyarakat atau hanya mementingkan dirinya sendiri maka penulis mengambil Aṭṭhasīla untuk mengatasi pemimpin yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan berilaku tidak sesuai sebagai pemimpin. Oleh karena itu penulis mengambil judul “Aṭṭhasīla sebagai pembentuk kepemimpinan yang baik”.
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Kepemimpin
Kepemimpinan menurut http://id.wikipedia.org/wiki/Kepemimpinan  Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi dalam suatu organisasi pemimpin menjadi orang yang mampu mempegarui anggotanya dan memjadi panutan atau menjadi contoh untuk anggotanya supaya dapat tercapai tujuan dari organisasinya. Menurut Miftha Thoha (1983 : 255  Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya atau membuat alasanya menjadi indah.
Oleh karena itu untuk menjadi seorang pempin harus mampu mempengarui anggotanya untuk menjadi lebih baik dan harus mampu menjadi penutan baik dalam bertindak maupun dalam memimpin. Dalam menjadi seorang pemimpin harus mampu melayani anggotanya. Seorang pemimpin boleh berprestasi tinggi untuk dirinya sendiri, tetapi dia harus  berhasil menumbuhkan dan mengembangkan segala yang terbaik dalam diri para anggotanya. Seorang pemimpin juga harus mampu berkomunikasi dengan dengan anggotanya. Kominikasi harus dilakukan dengan dua arah yaitu antara pimpinan dengan anggotannya dan anggota dengan pimpinan.
Dalam kenyataannya seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya terjadi suatu perbedaan  antara pemimpin yang satu dengan pemimpin yang lain. Hal tersebut yang membuat tipe-tipe kepemimpinan berbeda-beda. Menurut Maman Ukas tipe kepemimpinan dibagi menjadi enam, yaitu :
1.      Tipe kepemimpinan pribadi
Dalam tipe kepemimpinan ini segala tindakan dilakukan secara pribadi tanpa adanya suatu musyawarah terlebih dahulu.
2.      Tipe kepemimpinan non pribadi
Dalam tipe ini segala kebijakan atau keputusan dilakukan berdasarkan keputusan bersama pada rapat yang telah titentukan.
3.      Tipe kepemimpinan otoriter
Dalam tipe kepemiminan ini biasanya bekerja secara sungguh-sunguh dan ketat, kare kepemimpinan ini sudah diatur dan harus ditaati.
4.      Tipe kepemimpinan demokratis
Dalam tipe kepemimpinan ini pemimpin menganggap dirinya sebagai bagaian dari kelompoknya dan bersama dengan kelompoknya berusaha mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.
5.      Tipe kepemimpinan paternalis
Dalam tipe kepemimpinan ini pemimpin mempunyai hubungan dengan anggotanya supaya lebih mudah dalam memberi bimbingan maupun arahan terhadap bawahannya.
6.      Tipe kepemimpin menurut bakat
Dalam tipe ini biasanya timbul dari dari seorang pemimpin yang memang sudah memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin.
Dari tipe kepemimpinan tersebut banyak terlihat sekarang ini. Tipe tersebuut adanya yang hanya menguntungkan diri sendiri seorang pemimpin dan ada yang benar-benar menjadi seorang pemimpin.
B.  Aṭṭhasīla
Aṭṭhasīla merupakan latihan Kedisiplinan moral yg dianjurkan Sang Buddha bagi umat Buddha untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Di negara-negara Buddhis, Aṭṭhasīla pada umumnya dilaksanakan oleh umat Buddha pada hari-hari menurut penanggalan bulan Uposatha. Aṭṭhasīla biasanya dilakukan dua kali dalam satu bulan yaitu pada bulan gelap dan pada bulan terang.
Aṭṭhasīla berisi tentang delapan peraturan moral yang hendaknya dilaksankan oleh umut Buddha. Delapan Sīla tersebut, yaitu:
1.    ṇātipātā (Tidak membunuh) 
Artinya adalah tidak melakukan pembunuhan atau melukai makhluk hidup. Makhluk hidup di sini adalah manusia dan binatang (Tumbuhan tidak termasuk). Manulsia yang melakukan pembunuhan memiliki lima syarat, yaitu ada makhluk hidup, tahu bahwa makhluk itu hidup, melakuan usaha untuk membunuh, kematian sebagai akibatnya. Apa bila kelima syarat tersebut terpenuhi maka dikatakan telah membunuh.
2.    Adinnādānā  (Tidak mencuri)
Artinya adalah tidak melakukan perbuatan yang mengambil barang tanpa seizin pemiliknya. Untuk terjadinya pencurian memiliki lima syarat, yaitu ada barang milik orang lain, tahu barang itu  milik orang lain, niat untuk mencuri, usaha untuk mencuri, barang tersebut berpindah tempat. Apa bila kelima syarat tersebut dilakukan maka disebut mencuri.
3.    Abrahmacariyā (Tidak melakukan hubungan seks atau berzina)
Artinya adalah tidak melakukan hubungan kelamin baik dengan apa pun juga, dan tidak melakukan kegiatan seks sendiri (masturbasi). Intinya adalah tidak boleh melakukan kegiatan yang memuaskan diri secara seksual. Dalam melakukan hubungan seks ada empat syarat, yaitu
ada objek yang seyokyanya tidak digauli, pikiran untuk mengaui objek itu, upaya untuk menggauli objek itu, melakukan senggama. Apa bila keempat syarat tersebut dilakukan maka melanggar hubungan seks atau berzina.
4.    Musāvādā  (Tidak berbohong)
Pengertian ini jelas. Artinya tidak berbohong sehingga merugikan orang lain secara langsung atau pun tidak langsung dengan niat buruk. Dalam berbohong memiliki empat syarat, yaitu ada hal yang tidak benar, niat untuk berbohong, upaya untuk berbohong, pihak lain terbohongi. Apa bila ke empat syrat itu terpenuhi maka akan melanggar tindakan berbohong.
5.    Surāmeraya majjapamādaṭṭhānā  (Tidak berkonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan seperti alkohol, obat-obatan terlarang)
Artinya jelas. Jika seseorang mengkonsumsi untuk tujuan medis dalam jumlah kecil dan tidak hilang kesadaran, maka tidak terjadi pelanggaran. dalam Sīla ini mempunyai empat syarat yang dilakukan, yaitu ada sesuatu yang memebukan, hasrat untuk meminumnya, terminum, timbul gejala-gejala mabuk. Apabila empat syarat tersebut dilakukan maka terjadi planggaran yaitu mabuk.
6.    Vikāla bhojanā (Tidak makan pada waktu lewat tengah hari)
Pengertiannya adalah bahwa seseorang tidak boleh makan setelah lewat tengah hari sampai dengan pagihari atau dinihari. Patokannya adalah untuk tengah hari, ketika matahari tepat diatas kepala atau pukul 12 siang. dan pagihari atau dini hari adalah ketika tanpa lampu, seseorang dapat melihat garis tangannya sendiri atau ketika matahari terbit. Jadi seseorang boleh makan hanya pada waktu pagi hari atau dinihari sampai tengah hari (sekitar jam 12 siang). Vik
āla bhojanā dapat teralnggar apabila memenuhi empat faktor, yaitu makan di luar batas yang telah ditentukan, makanan atau minuman yang tidak diperbolehkan, usaha untuk memakan atau meminum, memakannya atau meminumnya.
7.    Naccagīta vādita visūkadassanā mālāgandha vilepanadhāraṇa maṇḍana  vibhūssanaṭṭhānā (Tidak bernyanyi, menari atau menonton hiburan, tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum)
Pengertiannta untuk mendengarkan musik pun tidak diperbolehkan. Jika musik atau kosmetik digunakan untuk terapi atau untuk menolak penyakit, maka seseorang tidak melanggar aturan. Sīla ketujuh dibagi menjadi dua bagian, yaitu: Naccagīta vādita visūkadassanā dan mālāgandha vilepanadhāraṇa maṇḍana  vibhūssanaṭṭhānā. Pelanggaran terhadap bagian pertama ini telah terjadi bila terdapat tiga faktor , yaitu ada suatu pertunjukan, seperti: tarian, nyanyian, dan permainan musik, pergi melihat atau mendengarkan, telah melihat dan mendengarkan. Pelanggaran terhadap bagian kedua telah terjadi bila terdapat tiga faktor, yaitu ada bahan-bahan untuk menghias dan mempercantik diri, tidak ada alasan khusus yang diperkenankan oleh Sang Buddha untuk pemakaian barang-barang atau bahan-bahan tersebut di atas, perbuatan memakai bahan-bahan tersebut dengan tujuan mempercantik atau memperindah diri.
8.    Uccāsayana mahāsayanā (Tidak duduk atau berbaring di tempat duduk atau tempat duduk yang besar dan tinggi)
Pengertiannya di sini adalah tidak tidur di atas tempat yang tingginya lebih dari 20 inci termasuk juga duduk. Tidur atau duduk di tempat yang mewah juga tidak diperbolehkan. Sīla kedelapan dapat terlanggar apabila memenihi tiga syarat, yaitu ada tempat tidur atau tempat duduk yang tinggi, besar, dan mewah, menyadari atau mengetahui tempat-tempat yang tinggi, besar, dan mewah, berbaring atau duduk di tempat itu.
C.  Pengaruh Aṭṭhasīla terhadap kepemimpinan yang baik
Pemahaman mengenai Aṭṭhasīla dan menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari sangat penting, kerena perbuatan tersebut dapat menekan lobha, dosa, dan moha. Begitu pula dengan seorang pememinpin yang memahami dan menjalankan Aṭṭhasīla maka akan mampu menjadi pemimpin yang patut untuk ditiru oleh anggotanya.
Sīla pertama yaitu tidak membunuh, tidak membunuh berarti mengembangkan cinta kasih dan mengurangi kembencian terhadap makhluk lain. Begitu juga pemimpin dapat mengurangi kebencian terhadaap anggota yang tidak disenaginya. Oleh karena itu apabila seorang pemimpin melakukan perbuatan tidak membunuh maka pemimpin tersebut telah memberi teladan pada anggotanya. Sīla yang kedua yaitu tidak mencuri, berti tidak melakukan tindakan pencirian termasuk korupsi. Oarang yang tidak melakukan pencurian pasti akan senang untuk berdana dan mau menolong orang alin yang kesusahan. Begitupula seorang pemimpin yang melakukan tindakan tidak mencuri dalam dalam kehidupan sehari-hari dan tidak melakukan korupsi dalam organisasinya, maka pemimpin tersebut patut untuk dicontoh. Sīla ketiga yaitu tidak melakukan hubungan seks atu melaukan perzinahan. Berarti orang tersebut tidak mengumbar nafsu duniawinya dan tidak menjadi budak oleh nafsu. Orang yang tidak mengumbar hawa nafsunya maka akan lebih dihargai dalam masyarakat. Begitu juga dengan seorang pemimpin yang tidak melakukan hubungan seks atau melakukan perzinahan maka akan lebih dihormati oleh anggotanya. Sīla keempat yaitu tidak berbohong. Tidak berbohong berarti tidak berkata yang tidak benar dan berkata desuia dengan kenyataanya. Pemimpin yang melakukan perbuatan tidak berbohong maka akan disenangi oleh anggotanya. Pemimpin akan disenangi karena pemimpin tersebut berbicara jujur dalam setiap perkataannya kepada anggotanya. Sīla kelima yaitu Tidak berkonsumsi makanan yang membuat kesadaran lemah dan ketagihan seperti alkohol, obat-obatan terlarang. Orang yang melakukan hal tersebut akan menjadi lemah kesadaranya. Orang yang lemah kesadaranya akan melakukan perbuatan tanpa dipikir terlebuh dahulu. Begitu juga seorang pemimpin yang tidak mengonsumsi makanan yang membuat kesadarannya lemah dan ketagihan seperti alkohol, obat-obatan terlarang maka akan menjadi pemimpin yang baik dan patut untuk ditiru. Sīla yang keenam yaitu Tidak makan pada waktu lewat tengah hari. Tidak makan tengah hari berarti mengurangi keserakahan dalam hal makanan. Jadi seorang pemimpin yang melakukan hal tersebut sangat baik karena mencoba mengurangi keserakahan, dan pemimpin tersebut pasti akan disenangi anggotanya. Sīla yang ketujuh yaitu Tidak bernyanyi, menari atau menonton hiburan, tidak memakai perhiasan, kosmetik, atau parfum. Sīla ini untuk mengurangi nafsu duniawi. Apabila seorang pemimpin menjalankan Sīla ini maka akan sangat disenangi olah anggotanya. Terutama pemimpin yang tidak keluyuran mencari tontonan itu sangat disenangi. Dan Sīla yang terahir adalah Tidak duduk atau berbaring di tempat duduk atau tempat duduk yang besar dan tinggi. Dalam Sīla ini untuk melatih hidup sederhana. Jadi pemimpin yang melekkukan Sīla ini maka hidupnya akan sederhana dan apa adanya dan hal ini akan disenangia nggotanya. Jadi apabila seorang pemimpin mampu menjalankan Aṭṭhasīla maka pemimpin tersebut akan mampu menjadi pemimpin yang patut dicontoh.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pemimpin merupakan seseorang yang mampu mempengaruhu orang lain untuk mecapi tujuan yang telah ditentukan dlam suatu organisasi. Seorang pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan anggotanya supaya dalam suatu organisasi tidak terjadi kesalah pahaman karena kurangnya kominikasi. Komunikasi dilakukan dengan dua arah yaitu antara pemimpin dengan angggotanya dan anggota dengan pimpinannya. Dalam suatu organisasi sangat diperlukan kerjasama antara anggota dan pimpinanya.
Untuk menjadi seorang pemimpin tidak mudah karena harus mampu menjadi contoh dalam  segala prilakunya. Pemimpin yang dapat dicontoh prilakunya salah satunya dengan menjalankan Aṭṭhasīla. Pemimpin yang menjalankan Aṭṭhasīla maka akan memiliki prilaku baik. Didalam suatu organisasi yang paling sering terjadi adalah tindakan korupsi dari seorang pemimpin. Untuk menghindari tindakan korupsi maka salah satunya seorang pemompin harus melaksanakan Aṭṭhasīla, karena dengan menjalankan Aṭṭhasīla maka pemimpin akan lebih menandalikan dirinya.  Berarti pemimpin yang menjalankan Aṭṭhasīla adalah pemimpin yang perlu dicontoh dalam segala prilakunya. Jadi untuk menjadi seorang pemimpin yang baik hendaknya menjalankan Aṭṭhasīla supaya memiliki moeal yang baik dan dapat dicontoh.

DAFTAR PUSTAKA
Maxwell, John C. 2010. The Maxwell Daily Reader. Diterjemahkan oleh Paul   A. Rajoe. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Dharma K, Widya. Penuntun Berorganisasi. Jakarta: Pemuda Theravada   Indonesia DKI Jakara.
Liaw, Ponijam. 2007. Understanding Your Communication Styles. Jakarta: PT Gramedia.
Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Agama Buddha Untuk Perguruan Tinggi Agama Buddha. Jakarta: CV. Dwi Kayana Abadi.
http://dhammacitta.org/artikel/puasa-dalam-agama-buddha/ diakses pada hari kamis 12 april 2012.
Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S. M. Rashid, Sila dan Vinaya, Bodhi (1997).

Postingan populer dari blog ini

KLONING MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

TEORI KAUSALITAS BUDDHIS

PERAN UTU NIYAMA DALAM TERJADINYA BENCANA ALAM