TEORI KAUSALITAS BUDDHIS
PENDAHULUAN
Sang Buddha menjelaskan bahwa pencarian akan
hakekat sumber dari segala sesuatu membimbingnya ke penemuan tentang kesatuan
dan proses kausal (Dhammaţţhitatā, Dhammaniyāmatā, atau
sederhananya Dhammatā). Ini adalah pengetahuan tentang pola sebab-akibat
yang memungkinkan Beliau mengakhiri kecenderungan merusak dan karenanya
berhasil mencapai kebebasan. Penjelasan ini haruslah dilihat dari latar
belakangnya, sewaktu beranekaragamnya teori meta fisika seperti ”Jiwa” atau
”diri” yang kekal (ātman), ”sifat bawaan” (svabāva), atau brahma
pencipta (iśvara), diletakan sebagai dasar keterangan untuk menjelaskan
segala fenomena. Tentang hal ini
dijelaskan oleh Sang Buddha kepada para Bhikkhu, dalam ”sutta hubungan kausal”
(Paccaya sutta) yang berisi kausalitas (paţiccasamuppāda) dan
fenomena yang terjadi secara bersyarat (paţiccasamuppāna Dhamma).
PEMBAHASAN
Sebelum dan semasa Sang Buddha hidup, filsafat di
India masih diliputi paham-paham metafisika, hal itu juga berlaku untuk
sebab-akibat. Berbagai paham metafisika ini menyebabkan ada 4 golongan besar
teori kausalitas, yaitu:
- Disebabkan
oleh faktor dari dalam (sayam katam)
pandangan ini diajarkan oleh sekolah
substansialis, yang menerima realitas ”diri” (ātman) dan berpendapat sebab akibat terjadi
karena kegiatan dari prinsip yang ada pada segala sesuatu (sarvam).
Karena ”diri” yang tetap ini dapat ditemukan pada manusia maupun pada benda-benda
yang ada di luar, sehingga semua kegiatan manusia, juga bekerjanya fungsi
benda-benda lain dapat dijelaskan. Paham ini, sebagai akibatnya, menolak
anggapan terjadinya akibat oleh faktor lain
selain ”diri”.
- Disebabkan
oleh faktor dari luar (param katam)
Teori ini diajukan oleh kaum
Naturalis, yang bereaksi terhadap kaum Metafisika ideal atau sekolah
Substansialis, yang percaya berfungsinya berbagai fenomena diakibatkan oleh
”sifat bawaan”nya (svabhāva).
Menurut
teori kaum Naturalis ini, ”sifat bawaan” merupakan prinsip yang mengatur alam
fisika, dan manusia sendiri akibatnya ditentukan oleh prinsip fisika ini dan
karenanya kepribadian kejiwaannya tidak berperan apa-apa terhadap
tingkahlakunya. Kebalikanya teori kaum Substansialis berpndapat bahwa ”diri”
terdapat pada fenomena fisika dan akhirnya disamakan dengan prinsip kejiwaan (cit)
yang dipandang sebagai realitas dari manusia. Jadi, konsepsi kaum Naturalis
tentang sebab akibat yang terjadi melalui ”sifat bawaan” (svabhāva) dipandang sebagai bentuk dari ”sebab akibat oleh faktor luar” (param
katam), karena hal itu berkaitan dengan filsafat antroposentrik, sehigga pandangan
ini menolak tanggung jawab moral pada manusia.
- Kombinasi
dari penyebab dari dalam dan luar (sayam
katam ca param katam ca)
Teori ini merupakan suatu
usaha untuk menggabungkan kedua teori diatas yang diajukan oleh kaum Jaina.
Meskipun teori ini menerima kedua aspek dari sebab-akibat itu, dari dlam maupun
dari luar, juga membawa semua anggapan yang dipunyai oleh kedua teori terebut.
- Paham
kebetulan (ahetu paccayavada)
Teori ini beranggapan bahwa
segala sesuatu, baik sebab terjadinya ataupun asal-usulnya adalah karena
kebetulan. Hal ini juga berlaku dalam menjelaskan prinsip kausal, beranggapan
munculnya segala sesuatu semuanya hanya kebetulan saja.
Teori kausalitas Buddhis nampaknya banyak
dipengaruhi oleh teori kaum Naturalis tentang ”sifat bawaan” (svabāva). Walaupun demikian, toeri Buddhis berbeda dengan
teori Naturalis dalam dua hal penting. Pertama, teori Buddhis tidak hanya
terikat pada akibat-akibat fisika seperti dalam teori kaum Naturalis. Dalam
Buddhisme, pola kausal bahkan terdapat pada kejiwaan, moral, sosial, dan alam
spiritual tetapi dalam teori kaum Naturalis hal-hal ini merupakan bagian dari
sebab-akibat fisika. Kedua, Buddhisme menerima prinsip kausal yang sedikit
banyak menyerupai teori kejadian bersyarat. Hal ini berbeda dengan teori kaum
Naturalis yang beranggapan bahwa prinsip sifat bawaan sangat menentukan (pasti)
dan tidak ada kekuatan apapun yang dapat mengubah jalannya alam.
Dalam ”Sutta Hubungan
Kausal”, Sang Buddha mengatakan ada empat ciri dari sebab akibat, yaitu:
1. Obyektivitas (tathatā)
Ciri ini menekankan tentang
obyektivitas dari hubungan kausal. Hal tersebut dimaksudkan untuk menolak
pernyataan beberapa filsuf idealis yang tergolong pada kaum tradisi Upanisad
dan yang berpendapat bahwa perubahan, sebab-akibat hanyalah kata-kata belaka,
dengan kata lain mereka hanyalah bentuk mental yang tidak punya kaitan dengan
realitas obyektifnya. Sebab-akibat menurut Sang Buddha merupakan hal yang nyata
seperti hal-hal lainya.
2. Nesesitas (avitathatā)
3. Invariabilitas (aññathatā)
Ciri kedua dan ketiga,
menegaskan ketiadaan kekecualian adanya
keteraturan. Kenyataan bahwa suatu himpunan syarat tertentu akan menimbulkan
akibat tertentu dan tidak ke sesuatu yang sama sekali berlainan, merupakan
suatu anggapan dasar bagi prinsip kausal. Bila gambaran ini tidak nampak, pola
dasar dari kejadian yang terlihat di muka bumi ini tidak akan dapat di
jelaskan. Kejadian yang muncul tanpa mengikuti pola kausal, kejadian-kejadian
yang pada umumnya disebut sebagai kejadian yang kebetulan. Ini disebabkan
karena ketidaktauan kita tentang pola kausal yang membuat kita menyimpulkan hal
tyersebut sebagai kebetulan.
4. Kondisionalitas (idapaccayatā)
Ciri keempat tentang
sebab-akibat, ”kondisionalitas” (idapaccayatā) sejauh ini merupakan hal yang paling penting
dalam menjelaskan dua hal ekstrim, nesesitas yang tak bersyarat yang berakibat
pada kepastian yang sangat dan kesembarangan yang tak bersyarat yang merupakan
anggapan bagi aliran kebetulan.
Berdasarkan ciri-ciri dari teori sebab-akibat,
Sang Buddha merumuskan formula umum yang dinyatakan dalam sutta, yaitu:
Imasmim sati idang hoti;
Imassa uppādā idam uppajati.
Imasmim asati idam na hoti;
Imassa nirodhā idam nirujjhati.
Pernyataan ini dimaksudkan untuk menerangkan
konsepsi kausalitas atau kesatuan kausal yang dicapai Sang Buddha setelah
menglami dan melalui dua jalan ekstrim, eternalisme dan anihilasionisme. Ini
juga merupakan jawaban Sang Buddha terhadap teori kaum eternalisme yang
meletakan “diri” (ātman) adalah
kekal dan teori anihilasionisme dari kaum bukan Substansialis yang menolak
kesinambungan sama sekali. Sang Buddha ternyata dapat merumuskan teori
kausalitasnya secara empirik tanpa mencampur baurkan dengan doktrin-doktrin
metafisika yang lain, yaitu dari kaum eternalisme dan bukan Substansialis.
Sementara setiap kejadian kausal dibuktikan berdasarkan pengalaman baik melalui
indera mata atau pun indera luar biasa (abhiñña).
Kesatuan hukum kausal dicapai melalui penarikan kesimpulan secara induktif
berdasarkan pengalaman, sementara sebab-akibt itu sendiri merupakan gejala yang
dialami, maka kesatuan kausal dipandang sebagai kesatuan induktif.
Penerapan
secara meluas dari hukum kausal dalam Buddhisme terlihat pada penggunaan
prinsip kausal untuk menjelaskan segala fenomena. Kita melihat dimana berbagai
prinsip kausal diterapkan untuk menerangkan bekerjanya fenomena fisika, organik
maupun anorganik, contohnya evolusi dan hancurnya dunia, kejadian-kejadian alam
dan kehidupan tumbuhan. Selain itu proses psikologi, tingkah laku moral dan
termasuk sepiritual juga dijelaskan dengan prinsip kausal. Para cendekiawan
juga mengelompokan 5 bidang yang dikuasai kausalitas, yaitu:
- Keteraturan
fisis (inorganik) (utu-niyāmā)
- Keteraturan
fisis (organik) (bīja-niyāmā)
- Keteraturan
psikologis (citta-niyāmā)
- Keteraturan
moral (kamma-niyāmā)
- Keteraturan
spiritual ideal (dhamma-niyāmā)
Kelima kelompok ini sudah memasukan segalanya
sehingga tidak ada satu segi pengalaman pun yang ditinggalkan. Singkatnya,
segala sesuatu di alam semesta ini berada dalam cakupan kausalitas.
Satu penerapan yang khusus dari prinsip
kausal dalam Buddhis dibuat mengacu pada kepribadian manusia. Prinsip kausal
terpenting bagi Sang Buddha juga bagi para murid-muridnya adalah rumusan sebab
akibat (paţiccasamuppāda) yang
berhubungan dengan kepribadian manusia dan kehidupannya. Rumusan sebab akibat
atau 12 mata rantai ini meliputi:
I. Ketidak tahuan (avijja)
Ketidaktahuan (avijja) atau kegelapan batin ini adalah salah
satu akar penyebab seluruh kotoran batin, seluruh perbuatan jahat (akusala).
Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan
maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun tindakan tidak akan
dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama
dari 12 mata rantai paticca samuppada. Meskipun demikian, kebodohan tidak
seharusnya dianggap sebagai kausa prima, mula pertama, ataupun pokok asal dari
makhluk. Tentu saja ia bukan penyebab utama; tak ada gambaran mengenai penyebab
pertama dalam pemikiran Buddhis. Ajaran paţiccasamuppāda dapat digambarkan dengan suatu lingkaran mata rantai karena ia merupakan
siklus kehidupan. Dalam sebuah lingkaran titik mana pun dapat dianggap titik
awal. Setiap faktor dari paticca samuppada dapat digabungkan dengan yang lain
dalam rangkaian yang sama, dan karena itulah, tak ada satu pun faktor yang
dapat berdiri sendiri ataupun berfungsi tanpa bergantung kepada yang lain. Contohnya
sebuah kursi berkaki tiga, ditunjang oleh ketiga kakinya; berdiri tegak lurus
karena kakinya saling bergantung satu sama lain. Jika yang satu lepas, kedua
kaki yang lain jatuh tanpa dukungan. Jadi, faktor-faktor dari paţiccasamuppāda
juga saling mendukung satu sama lain.
II. Bentuk-bentuk Karma (sankhara)
Avijja paccaya sankhara, “dengan bergantung pada kebodohan,
timbullah bentuk-bentuk karma yang menghasilkan kelahiran kembali“. Istilah sankhara juga memiliki arti yang lain. Dalam
kalimat, “sabbe sankhara anicca“ atau “anicca vata sankhara“
(segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur adalah tidak kekal), istilah “sankhara“
digunakan untuk segala sesuatu yang merupakan paduan unsur dan terkondisi,
misalnya semua yang menjadi makhluk sebagai akibat dari sebab dan kondisi, dan
apa yang mereka lakukan sebagai sebab dan kondisi berputar kembali untuk
menghasilkan akibat yang lain. Dalam paţiccasamuppāda, bagaimanapun juga arti dari sankhara hanyalah terbatas
pada aktivitas baik dan jahat (kusala atau akusala kamma), semua perbuatan, melalui jasmani,
ucapan dan pikiran (kaya sankhara, vaci sankhara dan citta
sankhara) yang menghasilkan reaksi.
III. Kesadaran
(vinnana)
Sankhara paccaya vinnanam, “bergantung pada bentuk-bentuk karma yang menghasilkan kelahiran
kembali (dari kelahiran yang lampau), timbullah kesadaran (kesadaran yang
menyambung kehidupan kembali)“.
IV. Batin dan Jasmani (nama-rupa)
Vinnana paccaya nama
rupam, “bergantung pada
kesadaran, timbullah batin dan jasmani“ (makhluk). Istilah nama di sini berarti
corak batin (cetasika), dengan kata lain, tiga kelompok batin, yaitu:
perasaan (vedanakkhandha), pencerapan (sannakkhandha),
bentuk-bentuk pikiran atau bentuk-bentuk karma atau mental (sankharakkhandha).
Yang disebut sebagai “makhluk“ tersusun dari lima
agregat atau kelompok (pancakkhandha), yaitu: tubuh jasmani, perasaan,
pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran (rupa, vedana, sanna, sankhara dan vinnana).
V. Enam Landasan Indra (salayatana)
Nama rupa paccaya
salayatanam, “bergantung
pada batin dan jasmani timbullah enam landasan indra,“ lima indra jasmani,
mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani dan indra pikiran (manayatana).
Manayatana adalah bentuk gabungan dari beberapa golongan kesadaran yang
berbeda, seperti, lima jenis kesadaran indra dan berbagai jenis kesadaran
batin. Dengan demikian kelima indra merupakan perwujudan jasmani, seperti mata,
telinga, hidung, lidah, badan jasmani dan yang keenam pikiran sama dengan
kesadaran.
VI. Kontak (phassa)
Salayatana paccaya phasso, “bergantung pada enam landasan indra,
timbullah kontak“. Dari penjelasan di atas kita melihat enam landasan indra
atau ayatana, mata, telinga dan seterusnya; mereka adalah landasan indra dalam
(ajjatika ayatana). Di luar tubuh seseorang terdapat lima objek indra
yang terkait, bentuk, suara, bau, rasa dan sentuhan, lebih jauh lagi objek
batin ini dikenal sebagai enam landasan indra luar (bahira ayatana).
Indra luar ini di ibaratkan makanan bagi indra dalam manusia, karena itulah
mereka saling berhubungan. Walaupun ada hubungan fungsional antara enam indra
ini dengan objeknya, pengetahuan menjelma bersama vinnana, atau
kesadaran. Oleh sebab itulah dikatakan, “jika kesadaran timbul karena mata dan
bentuk penglihatan, ini disebut sebagai kesadaran penglihatan“.
Singkatnya, bergantung pada
enam landasan indra timbullah kontak atau kesan-kesan, berarti, kontak penglihatan
dikondisikan oleh mata; kontak suara dikondisikan oleh telinga, kontak penciuman
dikondisikan oleh hidung; kontak pengecapan dikondisikan oleh lidah; kontak sentuhan
dikondisikan oleh tubuh; kontak batin dikondisikan oleh pikiran.
VII. Perasaan (vedana)
Phassa paccaya vedana, “bergantung pada kontak timbullah
perasaan“. Perasaan terdiri dari enam jenis: perasaan yang timbul karena kontak
mata; perasaan yang timbul karena kontak telinga; perasaan yang timbul karena
kontak hidung; perasaan yang timbul karena kontak lidah; perasaan yang timbul
karena kontak jasmani; perasaan yang timbul karena kontak pikiran. Perasaan
bisa berupa kesenangan (sukha),
penderitaan (dukkha), ataupun netral,
seperti tidak menyenangkan atau menyakitkan (adukkhama sukha).
Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, objek-objek indra tidak pernah dapat diketahui melalui kepekaan
khusus tanpa jenis kesadaran yang sesuai. Tetapi ketika ketiga faktor ini
bergabung, timbullah kontak. Dengan timbulnya kontak, timbullah perasaan (vedana) secara bersamaan dan tidak pernah
dapat dihentikan oleh kekuatan atau tenaga apa pun. Itulah sifat dari kontak
dan perasaan. Dengan mengalami hasil karma yang diinginkan ataupun yang tidak
diinginkan dari perbuatan baik dan jahat yang dilakukan di kelahiran yang
sekarang ataupun kelahiran yang lampau, merupakan satu dari kondisi–kondisi
sebelumnya yang terjadi yang dapat menimbulkan perasaan.
VIII. Nafsu
Keinginan (tanha)
Vedana paccaya tanha, “bergantung pada perasaan timbullah nafsu
keinginan“. Keinginan memiliki sumber, berasal muncul dari perasaan. Seluruh
bentuk nafsu tercakup dalam tanha. Keserakahan, kehausan, rangsangan,
hawa nafsu, kegairahan, hasrat, kerinduan, dorongan cinta, cinta keluarga,
adalah beberapa istilah yang menunjukkan tanha, yang dikatakan oleh
Buddha merupakan penuntun dari suatu penjelmaan (bhavanetti). Penjelmaan
yang mewujud sebagai dukkha, sebagai penderitaan, kekecewaan, pencetus hal yang
menyakitkan, adalah pengalaman kita sendiri. Musuh dari seluruh dunia adalah
hawa nafsu atau keinginan (yang rendah) yang melaluinyalah kejahatan menjelma
dalam diri manusia.
IX. Kemelekatan (upadana)
Tanha paccaya upadanam, “bergantung pada nafsu keinginan
timbullah kemelekatan“. “Keadaan batinlah yang melekat atau mengikat objeknya
seperti sepotong kerak daging yang melekat pada panci bergagang. Karena
kemelekatan ini, yang digambarkan sebagai keinginan yang tinggi kadarnya,
manusia menjadi budak nafsu, dan terjerat dalam jaring yang telah dibuatnya
sendiri dari nafsu terhadap kesenangan seperti ulat bulu melingkar kusut
sendiri di tempat dia hidup.
Upadana, kemelekatan atau ikatan dalam Buddhis,
terdiri dari empat jenis:
- Kemelekatan pada kesenangan-kesenangan
indra atau nafsu indra (kama upadana)
2. Kemelekatan pada pandangan yang salah dan
jahat (ditthi upadana)
3. Kemelekatan pada kepercayaan dan upacara
takhayul (silabbata upadana)
4. Kemelekatan pada ego, atau adanya roh yang
kekal (attavada upadana).
X. Penjelmaan (bhava)
Upadana paccaya bhavo, “bergantung pada kemelekatan, timbullah
penjelmaan“. Penjelmaan terdiri dari dua jenis, dan harus dipahami sebagai dua
proses: proses karma (kamma bhava) dan proses tumimbal lahir akibat
karma (upapatti bhava). Kamma bhava adalah kumpulan perbuatan
baik dan jahat, “sisi kehidupan dengan karma yang aktif“. Upapatti bhava
adalah “sisi kehidupan yang netral secara moral dengan karma yang pasif“,
berarti proses tumimbal lahir akibat karma ini di kehidupan yang selanjutnya.
Kehidupan selanjutnya dapat di lingkungan atau alam kehidupan mana pun (kamma bhava), baik yang berbentuk (rupa bhava), atau kehidupan tanpa bentuk
(arupa bhava).
XI. Kelahiran (jati)
Bhava paccaya jati, “bergantung pada penjelmaan timbullah
kelahiran“. Di sini kelahiran tidak hanya berarti benar-benar peristiwa
melahirkan, melainkan kemunculan dari lima agregat (bentuk-bentuk materi,
perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran) dalam kandungan
ibu. Proses ini dikondisikan oleh kamma bhava.
Kelahiran sekarang dihasilkan dari nafsu keinginan
dan kemelekatan pada kehendak berbuat (tanha upadana) dari kelahiran
lampau, dan nafsu keinginan dan kemelekatan yang dilakukan dengan kesadaran di
kelahiran sekarang akan menghasilkan kelahiran kembali di masa depan. Menurut
ajaran Buddha kehendak berbuat inilah yang membagi makhluk hidup menjadi tinggi
dan rendah. “Makhluk hidup merupakan ahli waris dari perbuatannya; pemilik yang
bertanggung jawab atas perbuatannya, dan perbuatannya merupakan rahim darimana
ia dilahirkan“ dan melalui perbuatan mereka sendirilah mereka harus berubah
demi kebaikan, memperbaiki diri dan memenangkan kebebasan dari kotoran batin.
XII. Pelapukan dan Kematian (jaramarana)
Jati paccaya jaramaranam, “bergantung pada kelahiran timbullah
pelapukan dan kematian“, dan bersamaan dengan itu secara alami timbullah
kesedihan, keluh kesah, kesakitan, penderitaan dan keputusasaan. Kelahiran tak terelakkan diikuti oleh
pelapukan dan kematian; jika tak ada kelahiran tak akan ada pelapukan dan
kematian. Demikianlah seluruh
bentuk penderitaan bergantung pada dua belas faktor ketergantungan. Pelapukan dan kematian diikuti oleh
kelahiran, dan kelahiran sebaliknya diikuti oleh pelapukan dan kematian.
Pasangan ini juga saling beriringan satu sama lain dalam suksesi (pewarisan).
Walaupun dalam agama Buddha sering kali hanya dianggap
sebagai konsep (paññatti) saja, dalam bahasa kebenaran yang mutlak (sammuti
sacca) kita membicarakan tiga periode waktu, dan rumusan paticca samuppada
dapat digunakan sebagai petunjuk dari tiga periode waktu, yaitu masa lampau,
masa sekarang, dan masa depan untuk membebaskan kita dari penderitaan. Dua faktor
ketidaktahuan dan bentuk-bentuk pikiran (avijjā
dan sankhāra) masuk dalam masa lampau;
delapan faktor selanjutnya, yang dimulai dengan kesadaran (viññana) masuk
dalam masa sekarang; dan dua faktor terakhir, kelahiran, pelapukan dan
kematian, dalam masa depan. Petunjuk tiga periode waktu ini, dapat kita gunakan
sebagai jalan untuk mengakhiri pengembaraan yang berulang-ulang (tumimbal lahir
berulang-ulang). Penghentian ini menurut proses kausal dapat dilakukan dengan,
pengembangan pengertian yang benar (samādiţţhi)
yang menggantikan ketidak tahuan(avijjā),
dan penghapusan keinginan(tanhā) yang
menghasilkan ketidak melekatan (anupādāna),
akan menghentikan proses penjelmaan. Ketiadaan kematian adalah tidak lain
ketiadaan kelahiran kembali atau ketiadaan penjelmaan kembali (apunabbhava). Ketiadaan penjelmaan atau ketiadaan
kematian merupakan akibat terahir dari pencapaian penerangan dan penghapusan
keinginan. Tetapi hasil yang segera dari penerangan adalah pencapaian
kebahagiaan yang sempurna (parama sukkha)
yang timbul dari ketiadaan keinginan atau keterikatan (virāga).
KESIMPULAN
Dari pembahasan teori kausalitas Buddhis ini,
dapat menyipulkan bahwa konsep
kausalitas Buddhis adalah hukum sebab musabab yang saling bergantungan. Sang
Buddha menjelaskan konsep tersebut dilatarbelakangi konsep filsafat di India kuno yang masih diliputi
paham-paham metafisika dan kemudian dari Sang Buddha menjelaskan konsep paţiccasamuppāda.
Konsep teori sebab dari segala sesuatu yang berasal dari filsifat India yang
dipengaruhi paham-paham metafisika, disebabkan oleh faktor dari dalam (sayam
katam), disebabkan oleh faktor dari luar (param katam), kombinasi
dari penyebab dari dalam dan luar (sayam katam ca param katam ca), dan
paham kebetulan (ahetu paccayavada). Kemudia Sang Buddha menjelaskan
bahwa teori tentang munculnya segala sesuatu adalah hukum sebab musabab yang
saling bergantungan, seperti penjelasan Sang Buddha dalam paccaya sutta yang
berisi kausalitas (paţiccasamuppāda) dan fenomena yang terjadi secara
bersyarat (paţiccasamuppāna Dhamma). Sebab munculnya segala sesuatu
terkondisi karena sebab yang lalu dan juga sebab yang sekarang dan menimbulkan
kejadian pda waktu yang berikutnya, di kehidupan sekarang ataupun kehidupan
yang akan datang.
Refrensi:
Dhirasekera,
Jotiya. Encylopaedia of Buddhism Vol. V.
The goverment of Ceylon.
Kandahjaya,
Hudaya (penerjemah). 1986. Filsafat
Buddha. Jakarta: Penerbit Erlangga.