TEORI KAUSALITAS BUDDHIS


PENDAHULUAN
Sang Buddha menjelaskan bahwa pencarian akan hakekat sumber dari segala sesuatu membimbingnya ke penemuan tentang kesatuan dan proses kausal (Dhammaţţhitatā, Dhammaniyāmatā, atau sederhananya Dhammatā). Ini adalah pengetahuan tentang pola sebab-akibat yang memungkinkan Beliau mengakhiri kecenderungan merusak dan karenanya berhasil mencapai kebebasan. Penjelasan ini haruslah dilihat dari latar belakangnya, sewaktu beranekaragamnya teori meta fisika seperti ”Jiwa” atau ”diri” yang kekal (ātman), ”sifat bawaan” (svabāva), atau brahma pencipta (iśvara), diletakan sebagai dasar keterangan untuk menjelaskan segala fenomena.  Tentang hal ini dijelaskan oleh Sang Buddha kepada para Bhikkhu, dalam ”sutta hubungan kausal” (Paccaya sutta) yang berisi kausalitas (paţiccasamuppāda) dan fenomena yang terjadi secara bersyarat (paţiccasamuppāna Dhamma).

PEMBAHASAN
Sebelum dan semasa Sang Buddha hidup, filsafat di India masih diliputi paham-paham metafisika, hal itu juga berlaku untuk sebab-akibat. Berbagai paham metafisika ini menyebabkan ada 4 golongan besar teori kausalitas, yaitu:
  1. Disebabkan oleh faktor dari dalam (sayam katam)
pandangan ini diajarkan oleh sekolah substansialis, yang menerima realitas ”diri” (ātman) dan berpendapat sebab akibat terjadi karena kegiatan dari prinsip yang ada pada segala sesuatu (sarvam). Karena ”diri” yang tetap ini dapat ditemukan pada manusia maupun pada benda-benda yang ada di luar, sehingga semua kegiatan manusia, juga bekerjanya fungsi benda-benda lain dapat dijelaskan. Paham ini, sebagai akibatnya, menolak anggapan terjadinya akibat oleh faktor lain  selain ”diri”. 
  1. Disebabkan oleh faktor dari luar (param katam)
Teori ini diajukan oleh kaum Naturalis, yang bereaksi terhadap kaum Metafisika ideal atau sekolah Substansialis, yang percaya berfungsinya berbagai fenomena diakibatkan oleh ”sifat bawaan”nya (svabhāva).
            Menurut teori kaum Naturalis ini, ”sifat bawaan” merupakan prinsip yang mengatur alam fisika, dan manusia sendiri akibatnya ditentukan oleh prinsip fisika ini dan karenanya kepribadian kejiwaannya tidak berperan apa-apa terhadap tingkahlakunya. Kebalikanya teori kaum Substansialis berpndapat bahwa ”diri” terdapat pada fenomena fisika dan akhirnya disamakan dengan prinsip kejiwaan (cit) yang dipandang sebagai realitas dari manusia. Jadi, konsepsi kaum Naturalis tentang sebab akibat yang terjadi melalui ”sifat bawaan” (svabhāva) dipandang sebagai bentuk dari ”sebab akibat oleh faktor luar” (param katam), karena hal itu berkaitan dengan filsafat antroposentrik, sehigga pandangan ini menolak tanggung jawab moral pada manusia.
  1. Kombinasi dari penyebab dari dalam dan luar (sayam katam ca param katam ca)
Teori ini merupakan suatu usaha untuk menggabungkan kedua teori diatas yang diajukan oleh kaum Jaina. Meskipun teori ini menerima kedua aspek dari sebab-akibat itu, dari dlam maupun dari luar, juga membawa semua anggapan yang dipunyai oleh kedua teori terebut.
  1. Paham kebetulan (ahetu paccayavada)
Teori ini beranggapan bahwa segala sesuatu, baik sebab terjadinya ataupun asal-usulnya adalah karena kebetulan. Hal ini juga berlaku dalam menjelaskan prinsip kausal, beranggapan munculnya segala sesuatu semuanya hanya kebetulan saja.

Teori kausalitas Buddhis nampaknya banyak dipengaruhi oleh teori kaum Naturalis tentang ”sifat bawaan” (svabāva). Walaupun demikian, toeri Buddhis berbeda dengan teori Naturalis dalam dua hal penting. Pertama, teori Buddhis tidak hanya terikat pada akibat-akibat fisika seperti dalam teori kaum Naturalis. Dalam Buddhisme, pola kausal bahkan terdapat pada kejiwaan, moral, sosial, dan alam spiritual tetapi dalam teori kaum Naturalis hal-hal ini merupakan bagian dari sebab-akibat fisika. Kedua, Buddhisme menerima prinsip kausal yang sedikit banyak menyerupai teori kejadian bersyarat. Hal ini berbeda dengan teori kaum Naturalis yang beranggapan bahwa prinsip sifat bawaan sangat menentukan (pasti) dan tidak ada kekuatan apapun yang dapat mengubah jalannya alam.
            Dalam ”Sutta Hubungan Kausal”, Sang Buddha mengatakan ada empat ciri dari sebab akibat, yaitu:
1.      Obyektivitas (tathatā)
Ciri ini menekankan tentang obyektivitas dari hubungan kausal. Hal tersebut dimaksudkan untuk menolak pernyataan beberapa filsuf idealis yang tergolong pada kaum tradisi Upanisad dan yang berpendapat bahwa perubahan, sebab-akibat hanyalah kata-kata belaka, dengan kata lain mereka hanyalah bentuk mental yang tidak punya kaitan dengan realitas obyektifnya. Sebab-akibat menurut Sang Buddha merupakan hal yang nyata seperti hal-hal lainya.
2.      Nesesitas (avitathatā)
3.      Invariabilitas (aññathatā)
Ciri kedua dan ketiga, menegaskan  ketiadaan kekecualian adanya keteraturan. Kenyataan bahwa suatu himpunan syarat tertentu akan menimbulkan akibat tertentu dan tidak ke sesuatu yang sama sekali berlainan, merupakan suatu anggapan dasar bagi prinsip kausal. Bila gambaran ini tidak nampak, pola dasar dari kejadian yang terlihat di muka bumi ini tidak akan dapat di jelaskan. Kejadian yang muncul tanpa mengikuti pola kausal, kejadian-kejadian yang pada umumnya disebut sebagai kejadian yang kebetulan. Ini disebabkan karena ketidaktauan kita tentang pola kausal yang membuat kita menyimpulkan hal tyersebut sebagai kebetulan.  
4.      Kondisionalitas (idapaccayatā)
Ciri keempat tentang sebab-akibat, ”kondisionalitas” (idapaccayatā) sejauh ini merupakan hal yang paling penting dalam menjelaskan dua hal ekstrim, nesesitas yang tak bersyarat yang berakibat pada kepastian yang sangat dan kesembarangan yang tak bersyarat yang merupakan anggapan bagi aliran kebetulan.
Berdasarkan ciri-ciri dari teori sebab-akibat, Sang Buddha merumuskan formula umum yang dinyatakan dalam sutta, yaitu:
Imasmim sati idang hoti;
Imassa uppādā idam uppajati.
Imasmim asati idam na hoti;            
Imassa nirodhā idam nirujjhati.
Pernyataan ini dimaksudkan untuk menerangkan konsepsi kausalitas atau kesatuan kausal yang dicapai Sang Buddha setelah menglami dan melalui dua jalan ekstrim, eternalisme dan anihilasionisme. Ini juga merupakan jawaban Sang Buddha terhadap teori kaum eternalisme yang meletakan “diri” (ātman) adalah kekal dan teori anihilasionisme dari kaum bukan Substansialis yang menolak kesinambungan sama sekali. Sang Buddha ternyata dapat merumuskan teori kausalitasnya secara empirik tanpa mencampur baurkan dengan doktrin-doktrin metafisika yang lain, yaitu dari kaum eternalisme dan bukan Substansialis. Sementara setiap kejadian kausal dibuktikan berdasarkan pengalaman baik melalui indera mata atau pun indera luar biasa (abhiñña). Kesatuan hukum kausal dicapai melalui penarikan kesimpulan secara induktif berdasarkan pengalaman, sementara sebab-akibt itu sendiri merupakan gejala yang dialami, maka kesatuan kausal dipandang sebagai kesatuan induktif.
            Penerapan secara meluas dari hukum kausal dalam Buddhisme terlihat pada penggunaan prinsip kausal untuk menjelaskan segala fenomena. Kita melihat dimana berbagai prinsip kausal diterapkan untuk menerangkan bekerjanya fenomena fisika, organik maupun anorganik, contohnya evolusi dan hancurnya dunia, kejadian-kejadian alam dan kehidupan tumbuhan. Selain itu proses psikologi, tingkah laku moral dan termasuk sepiritual juga dijelaskan dengan prinsip kausal. Para cendekiawan juga mengelompokan 5 bidang yang dikuasai kausalitas, yaitu:
  1. Keteraturan fisis (inorganik) (utu-niyāmā)
  2. Keteraturan fisis (organik) (bīja-niyāmā)
  3. Keteraturan psikologis (citta-niyāmā)
  4. Keteraturan moral (kamma-niyāmā)
  5. Keteraturan spiritual ideal (dhamma-niyāmā)
Kelima kelompok ini sudah memasukan segalanya sehingga tidak ada satu segi pengalaman pun yang ditinggalkan. Singkatnya, segala sesuatu di alam semesta ini berada dalam cakupan kausalitas.
Satu penerapan yang khusus dari prinsip kausal dalam Buddhis dibuat mengacu pada kepribadian manusia. Prinsip kausal terpenting bagi Sang Buddha juga bagi para murid-muridnya adalah rumusan sebab akibat (paţiccasamuppāda) yang berhubungan dengan kepribadian manusia dan kehidupannya. Rumusan sebab akibat atau 12 mata rantai ini meliputi:
I. Ketidak tahuan (avijja)
Ketidaktahuan (avijja) atau kegelapan batin ini adalah salah satu akar penyebab seluruh kotoran batin, seluruh perbuatan jahat (akusala). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun tindakan tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai paticca samuppada. Meskipun demikian, kebodohan tidak seharusnya dianggap sebagai kausa prima, mula pertama, ataupun pokok asal dari makhluk. Tentu saja ia bukan penyebab utama; tak ada gambaran mengenai penyebab pertama dalam pemikiran Buddhis. Ajaran paţiccasamuppāda dapat digambarkan dengan suatu lingkaran mata rantai karena ia merupakan siklus kehidupan. Dalam sebuah lingkaran titik mana pun dapat dianggap titik awal. Setiap faktor dari paticca samuppada dapat digabungkan dengan yang lain dalam rangkaian yang sama, dan karena itulah, tak ada satu pun faktor yang dapat berdiri sendiri ataupun berfungsi tanpa bergantung kepada yang lain. Contohnya sebuah kursi berkaki tiga, ditunjang oleh ketiga kakinya; berdiri tegak lurus karena kakinya saling bergantung satu sama lain. Jika yang satu lepas, kedua kaki yang lain jatuh tanpa dukungan. Jadi, faktor-faktor dari paţiccasamuppāda juga saling mendukung satu sama lain.
II. Bentuk-bentuk Karma (sankhara)
Avijja paccaya sankhara, “dengan bergantung pada kebodohan, timbullah bentuk-bentuk karma yang menghasilkan kelahiran kembali“. Istilah sankhara juga memiliki arti yang lain. Dalam kalimat, “sabbe sankhara anicca“ atau “anicca vata sankhara“ (segala sesuatu yang terjadi dari paduan unsur adalah tidak kekal), istilah “sankhara“ digunakan untuk segala sesuatu yang merupakan paduan unsur dan terkondisi, misalnya semua yang menjadi makhluk sebagai akibat dari sebab dan kondisi, dan apa yang mereka lakukan sebagai sebab dan kondisi berputar kembali untuk menghasilkan akibat yang lain. Dalam paţiccasamuppāda, bagaimanapun juga arti dari sankhara hanyalah terbatas pada aktivitas baik dan jahat (kusala atau akusala kamma), semua perbuatan, melalui jasmani, ucapan dan pikiran (kaya sankhara, vaci sankhara dan citta sankhara) yang menghasilkan reaksi.
III. Kesadaran (vinnana)
Sankhara paccaya vinnanam, “bergantung pada bentuk-bentuk karma yang menghasilkan kelahiran kembali (dari kelahiran yang lampau), timbullah kesadaran (kesadaran yang menyambung kehidupan kembali)“.
IV. Batin dan Jasmani (nama-rupa)
Vinnana paccaya nama rupam, “bergantung pada kesadaran, timbullah batin dan jasmani“ (makhluk). Istilah nama di sini berarti corak batin (cetasika), dengan kata lain, tiga kelompok batin, yaitu: perasaan (vedanakkhandha), pencerapan (sannakkhandha), bentuk-bentuk pikiran atau bentuk-bentuk karma atau mental (sankharakkhandha).
Yang disebut sebagai “makhluk“ tersusun dari lima agregat atau kelompok (pancakkhandha), yaitu: tubuh jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran (rupa, vedana, sanna, sankhara dan vinnana).
V. Enam Landasan Indra (salayatana)
Nama rupa paccaya salayatanam, “bergantung pada batin dan jasmani timbullah enam landasan indra,“ lima indra jasmani, mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani dan indra pikiran (manayatana). Manayatana adalah bentuk gabungan dari beberapa golongan kesadaran yang berbeda, seperti, lima jenis kesadaran indra dan berbagai jenis kesadaran batin. Dengan demikian kelima indra merupakan perwujudan jasmani, seperti mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani dan yang keenam pikiran sama dengan kesadaran.
VI. Kontak (phassa)
Salayatana paccaya phasso, “bergantung pada enam landasan indra, timbullah kontak“. Dari penjelasan di atas kita melihat enam landasan indra atau ayatana, mata, telinga dan seterusnya; mereka adalah landasan indra dalam (ajjatika ayatana). Di luar tubuh seseorang terdapat lima objek indra yang terkait, bentuk, suara, bau, rasa dan sentuhan, lebih jauh lagi objek batin ini dikenal sebagai enam landasan indra luar (bahira ayatana). Indra luar ini di ibaratkan makanan bagi indra dalam manusia, karena itulah mereka saling berhubungan. Walaupun ada hubungan fungsional antara enam indra ini dengan objeknya, pengetahuan menjelma bersama vinnana, atau kesadaran. Oleh sebab itulah dikatakan, “jika kesadaran timbul karena mata dan bentuk penglihatan, ini disebut sebagai kesadaran penglihatan“.
Singkatnya, bergantung pada enam landasan indra timbullah kontak atau kesan-kesan, berarti, kontak penglihatan dikondisikan oleh mata; kontak suara dikondisikan oleh telinga, kontak penciuman dikondisikan oleh hidung; kontak pengecapan dikondisikan oleh lidah; kontak sentuhan dikondisikan oleh tubuh; kontak batin dikondisikan oleh pikiran.
VII. Perasaan (vedana)
Phassa paccaya vedana, “bergantung pada kontak timbullah perasaan“. Perasaan terdiri dari enam jenis: perasaan yang timbul karena kontak mata; perasaan yang timbul karena kontak telinga; perasaan yang timbul karena kontak hidung; perasaan yang timbul karena kontak lidah; perasaan yang timbul karena kontak jasmani; perasaan yang timbul karena kontak pikiran. Perasaan bisa berupa kesenangan (sukha), penderitaan (dukkha), ataupun netral, seperti tidak menyenangkan atau menyakitkan (adukkhama sukha).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, objek-objek indra tidak pernah dapat diketahui melalui kepekaan khusus tanpa jenis kesadaran yang sesuai. Tetapi ketika ketiga faktor ini bergabung, timbullah kontak. Dengan timbulnya kontak, timbullah perasaan (vedana) secara bersamaan dan tidak pernah dapat dihentikan oleh kekuatan atau tenaga apa pun. Itulah sifat dari kontak dan perasaan. Dengan mengalami hasil karma yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan dari perbuatan baik dan jahat yang dilakukan di kelahiran yang sekarang ataupun kelahiran yang lampau, merupakan satu dari kondisi–kondisi sebelumnya yang terjadi yang dapat menimbulkan perasaan.
VIII. Nafsu Keinginan (tanha)
Vedana paccaya tanha, “bergantung pada perasaan timbullah nafsu keinginan“. Keinginan memiliki sumber, berasal muncul dari perasaan. Seluruh bentuk nafsu tercakup dalam tanha. Keserakahan, kehausan, rangsangan, hawa nafsu, kegairahan, hasrat, kerinduan, dorongan cinta, cinta keluarga, adalah beberapa istilah yang menunjukkan tanha, yang dikatakan oleh Buddha merupakan penuntun dari suatu penjelmaan (bhavanetti). Penjelmaan yang mewujud sebagai dukkha, sebagai penderitaan, kekecewaan, pencetus hal yang menyakitkan, adalah pengalaman kita sendiri. Musuh dari seluruh dunia adalah hawa nafsu atau keinginan (yang rendah) yang melaluinyalah kejahatan menjelma dalam diri manusia.
IX. Kemelekatan (upadana)
Tanha paccaya upadanam, “bergantung pada nafsu keinginan timbullah kemelekatan“. “Keadaan batinlah yang melekat atau mengikat objeknya seperti sepotong kerak daging yang melekat pada panci bergagang. Karena kemelekatan ini, yang digambarkan sebagai keinginan yang tinggi kadarnya, manusia menjadi budak nafsu, dan terjerat dalam jaring yang telah dibuatnya sendiri dari nafsu terhadap kesenangan seperti ulat bulu melingkar kusut sendiri di tempat dia hidup.
Upadana, kemelekatan atau ikatan dalam Buddhis, terdiri dari empat jenis:
  1. Kemelekatan pada kesenangan-kesenangan indra atau nafsu indra (kama upadana)
2.      Kemelekatan pada pandangan yang salah dan jahat (ditthi upadana)
3.      Kemelekatan pada kepercayaan dan upacara takhayul (silabbata upadana)
4.      Kemelekatan pada ego, atau adanya roh yang kekal (attavada upadana).
X. Penjelmaan (bhava)
Upadana paccaya bhavo, “bergantung pada kemelekatan, timbullah penjelmaan“. Penjelmaan terdiri dari dua jenis, dan harus dipahami sebagai dua proses: proses karma (kamma bhava) dan proses tumimbal lahir akibat karma (upapatti bhava). Kamma bhava adalah kumpulan perbuatan baik dan jahat, “sisi kehidupan dengan karma yang aktif“. Upapatti bhava adalah “sisi kehidupan yang netral secara moral dengan karma yang pasif“, berarti proses tumimbal lahir akibat karma ini di kehidupan yang selanjutnya. Kehidupan selanjutnya dapat di lingkungan atau alam kehidupan mana pun (kamma bhava), baik yang berbentuk (rupa bhava), atau kehidupan tanpa bentuk (arupa bhava).
XI. Kelahiran (jati)
Bhava paccaya jati, “bergantung pada penjelmaan timbullah kelahiran“. Di sini kelahiran tidak hanya berarti benar-benar peristiwa melahirkan, melainkan kemunculan dari lima agregat (bentuk-bentuk materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran) dalam kandungan ibu. Proses ini dikondisikan oleh kamma bhava.
Kelahiran sekarang dihasilkan dari nafsu keinginan dan kemelekatan pada kehendak berbuat (tanha upadana) dari kelahiran lampau, dan nafsu keinginan dan kemelekatan yang dilakukan dengan kesadaran di kelahiran sekarang akan menghasilkan kelahiran kembali di masa depan. Menurut ajaran Buddha kehendak berbuat inilah yang membagi makhluk hidup menjadi tinggi dan rendah. “Makhluk hidup merupakan ahli waris dari perbuatannya; pemilik yang bertanggung jawab atas perbuatannya, dan perbuatannya merupakan rahim darimana ia dilahirkan“ dan melalui perbuatan mereka sendirilah mereka harus berubah demi kebaikan, memperbaiki diri dan memenangkan kebebasan dari kotoran batin.
XII. Pelapukan dan Kematian (jaramarana)  
Jati paccaya jaramaranam, “bergantung pada kelahiran timbullah pelapukan dan kematian“, dan bersamaan dengan itu secara alami timbullah kesedihan, keluh kesah, kesakitan, penderitaan dan keputusasaan. Kelahiran tak terelakkan diikuti oleh pelapukan dan kematian; jika tak ada kelahiran tak akan ada pelapukan dan kematian. Demikianlah seluruh bentuk penderitaan bergantung pada dua belas faktor ketergantungan. Pelapukan dan kematian diikuti oleh kelahiran, dan kelahiran sebaliknya diikuti oleh pelapukan dan kematian. Pasangan ini juga saling beriringan satu sama lain dalam suksesi (pewarisan).

Walaupun dalam agama Buddha sering kali hanya dianggap sebagai konsep (paññatti) saja, dalam bahasa kebenaran yang mutlak (sammuti sacca) kita membicarakan tiga periode waktu, dan rumusan paticca samuppada dapat digunakan sebagai petunjuk dari tiga periode waktu, yaitu masa lampau, masa sekarang, dan masa depan untuk membebaskan kita dari penderitaan. Dua faktor ketidaktahuan dan bentuk-bentuk pikiran (avijjā dan sankhāra) masuk dalam masa lampau; delapan faktor selanjutnya, yang dimulai dengan kesadaran (viññana) masuk dalam masa sekarang; dan dua faktor terakhir, kelahiran, pelapukan dan kematian, dalam masa depan. Petunjuk tiga periode waktu ini, dapat kita gunakan sebagai jalan untuk mengakhiri pengembaraan yang berulang-ulang (tumimbal lahir berulang-ulang). Penghentian ini menurut proses kausal dapat dilakukan dengan, pengembangan pengertian yang benar (samādiţţhi) yang menggantikan ketidak tahuan(avijjā), dan penghapusan keinginan(tanhā) yang menghasilkan ketidak melekatan (anupādāna), akan menghentikan proses penjelmaan. Ketiadaan kematian adalah tidak lain ketiadaan kelahiran kembali atau ketiadaan penjelmaan kembali (apunabbhava). Ketiadaan penjelmaan atau ketiadaan kematian merupakan akibat terahir dari pencapaian penerangan dan penghapusan keinginan. Tetapi hasil yang segera dari penerangan adalah pencapaian kebahagiaan yang sempurna (parama sukkha) yang timbul dari ketiadaan keinginan atau keterikatan (virāga).







KESIMPULAN
Dari pembahasan teori kausalitas Buddhis ini, dapat menyipulkan  bahwa konsep kausalitas Buddhis adalah hukum sebab musabab yang saling bergantungan. Sang Buddha menjelaskan konsep tersebut dilatarbelakangi konsep filsafat di India kuno yang masih diliputi paham-paham metafisika dan kemudian dari Sang Buddha menjelaskan konsep paţiccasamuppāda. Konsep teori sebab dari segala sesuatu yang berasal dari filsifat India yang dipengaruhi paham-paham metafisika, disebabkan oleh faktor dari dalam (sayam katam), disebabkan oleh faktor dari luar (param katam), kombinasi dari penyebab dari dalam dan luar (sayam katam ca param katam ca), dan paham kebetulan (ahetu paccayavada). Kemudia Sang Buddha menjelaskan bahwa teori tentang munculnya segala sesuatu adalah hukum sebab musabab yang saling bergantungan, seperti penjelasan Sang Buddha dalam paccaya sutta yang berisi kausalitas (paţiccasamuppāda) dan fenomena yang terjadi secara bersyarat (paţiccasamuppāna Dhamma). Sebab munculnya segala sesuatu terkondisi karena sebab yang lalu dan juga sebab yang sekarang dan menimbulkan kejadian pda waktu yang berikutnya, di kehidupan sekarang ataupun kehidupan yang akan datang.



Refrensi:
Dhirasekera, Jotiya. Encylopaedia of Buddhism Vol. V. The goverment of Ceylon.
Kandahjaya, Hudaya (penerjemah). 1986. Filsafat Buddha. Jakarta: Penerbit Erlangga.


Postingan populer dari blog ini

KLONING MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

PERAN UTU NIYAMA DALAM TERJADINYA BENCANA ALAM