Aplikasi Pancasila Buddhis untuk Mengatasi Kekerasan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
era sekarang di Indonesia mulai banyak bermunculan tindak kekerasan, Indonesia
yang dahulunya terkenel dengan negeri yang aman, penduduknya ramah-ramah, suka
damai, dan tidak suka tindak kekerasan itu luntur. Tindak kekerasan sekarang
bermunculan di mana-mana, mulai dari dunia pendidikan, rumah tangga, dan sosial
masyarakat, baik di kota-kota besar ataupun pada pelosok pedesaan.
Tindak kekerasan tanpa kita sadari
bermula dari perkembangan teknologi yaitu televisi. Dewasa ini televisi
bukanlah barang mewah dan sulit untuk diperoleh. Televisi memudahkan seseorang untuk mendapatkan
informasi dan hiburan. Akan tetapi tayangan televisi tanpa disadari memberikan
andil yang besar terhadap timbulnya tindak kekerasan. Seseorang cenderung
meniru sesuatu tindakan yang ada di televisi. Oleh karena itu diperlukanya
solusi terhadap bentuk tindakkan kekerasan yang muncul.
Dalam
usaha mencari solusi tersebut penulis mengaitkan dengan pancasila buddhis, karena pada dasarnya semua bentuk tindak
kekerasan yang timbul bermula dari pelanggaran pancasila buddhis. Atas dasar tersebutlah penulis mengambil judul ”Aplikasi Pancasila Buddhis
untuk Mengatasi Kekerasan.”
B. Rumusan Masalah
Penulisan
paper ini memiliki dua objek, yaitu tindak kekerasan dan pancasila buddhis. Maka dari itu, penulis membagi Bab Pembahasan
menjadi subbab. Subbab pertama, membahas tentang pengertian tindak kekerasan.
Subbab kedua, membahas penyebab timbulnya tindak kekerasan. Subbab ketiga membahas pancasila
buddhis. Subbab keempat membahas pengaruh pancasila buddhis terhadap tindak kekerasan. Secara keseluruhan, rumusan masalah dalam paper ini adalah “Bagaimana
Aplikasi Pancasila Buddhis untuk
Mengatasi Kekerasan”.
C.
Tujuan
Penulisan makalah dengan judul “Aplikasi Pancasila Buddhis untuk Mengatasi Kekerasan” bertujuan untuk
menambah pemahaman pembaca dalam hal pengertian tindak kekerasan, penyebab
timbulnya kekerasan, pancasila buddhis, dan
aplikasi pancasila buddhis untuk
mengatasi tindak kekerasan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan.
Kekerasan
merujuk pada tindakan pelanggaran Pancasila
Buddhis (penyiksaan, penencurian, pemerkosaan, pemukulan, berbohong, dan minum-minuman
keras) yang dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain. Menurut Santoso, 2002: 10 tindak kekerasan merupakan ancaman atau
penggunaan kekuatan fisik untuk menimbulkan kerusakan pada orang lain.
Sedangkan
dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan tindak
kekerasan merupakan usaha yang dilakukan seseorang (pelaku kekerasan) kepada
orang lain (objek sasaran) dengan tujuan melukai, bentuknya dapat berupa
penyiksaan fisik, seksual maupun psikologis atau penyiksaan emosi. Oleh
karenanya diperlukan kewaspadaan setiap saat, sebab tindak kekerasan dapat
terjadi di mana-mana tanpa memandang usia, status sosial, dan jenis kelamin.
Jadi
dari beberapa pengertian tersebut, tindak kekerasan beorientasi pada kekerasan
baik secara fisik ataupun non fisik dengan tujuan balas dendam atau ingin
menguasai harta seseorang (objek kekerasan). Oleh karena itu, diperlukannya
kewaspadaan dan sikap saling menghormati satu sama lain, sebab tindak kekerasan
yang timbul dapat bermula dari permasalahan yang kecil dan sepele sekalipun.
B. Penyebab Timbulnya Kekerasan
Pada
zaman sekarang tindak kekerasan dapat terjadi karena disebabkan oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Faktor Ekonomi
Tindak
kekerasan yang terjadi dalam faktor ekonomi yaitu pendapatan lebih kecil dari
pada pendapatan. Dengan pendapatan yang sedikit dan kebutuhan ekonomi yang
semakin meningkat, membuat permasalahan baru dalam kehidupan berumah tangga.
Permasalahan dalam rumah tangga dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.
Dhammananda, 2008: 26 menyatakan tindak kekerasan yang sering terjadi dalam
rumah tangga salah satunya disebabkan karena faktor ekonomi dan saling
ketidakjujuran satu sama lain.
Jadi keterbukaan antara suami dan istri di
dalam kehidupan berumah tangga sangatlah penting, sebab dengan sifat
keterbukaan menyebabkan suami dan istri saling mengetahui pokok permasalahan
yang dihadapi, serta mencari solusi dan jalan keluar dari permasalahan yang ada
secara bersama-sama tanpa adanya tindak kekerasan.
2. Faktor Emosional
Tindak kekerasan timbul karena
seseorang tidak dapat mengontrol emosinya. Hal ini sering terjadi pada orang
tua dan guru dalam mendidik siswa. Guru dan orang tua selalu memaksakan anaknya
untuk selalu belajar, dan melarang anaknya untuk bermain. Suryabrata, 2005: 206
menyatakan bahwa anak-anak pada masa SD gemar membentuk kelompok untuk bermain
bersama, mereka tidak terikat peraturan-peraturan permainan yang ada, melainkan
membuat peraturan sendiri.
Dengan demikian anak-anak (pada usia
6-10 tahun) belum mengerti pentingnya belajar, karena pola pikir mereka masih
ingin terus bermain sesuai dengan kesukaan mereka. Oleh sebab itu, diperlukan
kesabaran pada orang tua dan guru, supaya dapat menahan emosi terhadap tingkah
laku yang timbul pada diri anak.
3. Faktor Penganguran
Persoalan
ini terlihat ketika situasi ekonomi mengalami kemerosotan. Setiap tahun begitu
banyak kaum muda yang masuk ke pasar tenaga kerja. Akan tetapi, terbatasnya
lapangan kerja menyebabkan banyaknya yang menjadi pengangguran. Sebagian mungkin
ada yang kemudian memilih untuk masuk ke sektor informal, menjadi pekerja
mandiri kendati tetap menyimpan keinginan untuk memperoleh pekerjaan yang lebih
baik. Kaum muda yang pendidikannya tidak
cukup baik, mungkin tidak perlu berpikir lama untuk mengambil keputusan masuk
ke sektor informal, tetapi kaum muda yang terdidik mungkin memilih untuk tetap
mencoba ke sektor formal.
Pada tahap
ini mereka tersadar betapa amat kecil peluang mereka untuk bisa mendapatkan
pekerjaan. Tentu, hal ini diperparah pula dengan seringnya nepotisme, koneksi,
korupsi menjadi penentu pengalokasian pekerjaan dan makin meningkatkan
kekecewaan mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya, namun tidak punya koneksi
atau uang untuk memperoleh pekerjaan. Di dalam http://www.geocities.com/aloysiusgb/ shortopinions/
Kekerasan danKemiskinan.htm dikatakan bahwa menumpuknya penganguran dapat saja kemudian berbuah pada pilihan
untuk bergabung dengan kelompok-kelompok yang ektrim dan menggunakan kekerasan
sebagai cara untuk meluapkan kekecewaan mereka.
C. Pancasila Buddhis
Pancasila Buddhis adalah lima latihan sila yang dijalankan oleh umat awam. Pancasila Buddhis apabila dapat
dilakukan dalam kehidupan sehari dengan baik, maka akan memberi manfaat yang
besar bagi seseorang yang menjalankannya.
Pancasila Buddhis berisi lima latihan sila, yaitu latihan untuk tidak
membunuh, mencuri, berzinah, berbohong, dan minum-minuman keras (Tim Penyusun,
2003: 27), untuk penjelasannya sebagai berikut:
1)
Pāņātipātā
Istilah
ini terdiri dari dua kata Pāņā yang
mempunyai arti makhluk atau kehidupan dan
ātipātā yang mempunyai arti lepas
dengan cepat. Jadi bila digabungkan mempunyai makna membuat suatu makhluk, atau
kehidupan mati sebelum pada waktunya (pembunuhan).
Suatu
pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor, yaitu ada makhluk hidup (pano), mengetahui bahwa makhluk itu
masih hidup (pannasanita), berniat
membunuh (vadhabachittam), melakukan
usaha untuk membunuh (upakkamo), dan
makhluk itu mati melalui usaha kita (tena
maranam). Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu
tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena
itu, berusahalah untuk mengindari pembunuhan makhluk hidup, sebab dengan
pembunuhan dapat menimbulkan kekerasan.
2) Adinnādānā
Istilah
adinnādānā terdiri dari tiga kata, a
merupakan sebuah sangkal, dinna mempunyai
arti barang yang tidak diberikan oleh pemiliknya, dan adana mempunyai arti mengambil barang atau merampas. Jadi gabungan
dari ketiga kosa kata tersebut mempunyai arti mengambil barang yang tidak
diberikan (pencurian).
Suatu
pencurian telah terjadi bila terdapat lima faktor, yaitu adanya barang milik
orang lain (para pariggabitam),
mengetahui barang itu ada pemiliknya (paraparinggabitamsannitam),
niat untuk mencuri (theyyacittam),
melakukan usaha untuk mengambilnya (upakkammo),
dan berhasil mengambil melalui usaha itu (tena
baranam). Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pencurian,
maka telah terjadi pelanggaran sila kedua. Oleh karena itu, berusaha untuk
mengindari pengambilan barang milik orang lain, sebab dengan pencurian dapat
menimbulkan kekerasan.
3) Kāmesumicchācārā
Istilah kāmesumicchācārā terdiri
dari kata, kama mempunyai arti nafsu
atau kesenangan duniawi, mica mempunyai
arti salah atau menyimpang, dan kemesu
merupakan bentuk jamak dari kama.
Jadi gabungan dari ketiga kosa kata tersebut mempunyai arti pemuasan nafsu
indriawi-nafsu yang menyimpang atau memuaskan nafsu indriawi secara menyimpang
(melakukan hubungan kelamin yang salah).
Kāmesumicchācārā telah terjadi bila terdapat lima faktor yang terdiri dari: orang
yang tidak patut untuk disetubuhi (agamantavitthu),
mempunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut (tasmim sevacittam),
melakukan usaha untuk menyetubuhinya (sevanappayogo), dan berhasil menyetubuhinya. Berhasil
menyutubuhinya maksudnya berhasil memasuk-kan alat kelamin melalui tiga lubang
(vagina, dubur, dan mulut) walaupun sedalam biji wijen. Oleh karena itu, berusaha
menghindari perzinahan atau tindak asusila, sebab dengan perzinahan dapat
menimbulkan kekerasan..
4) Musāvādā
Istilah
musāvādā terdiri dari kata musa yang mempunyai arti sesuatu yang tidak
benar dan vada berarti ucapan. Jadi
bila digabung mengandung makna mengucapkan sesuatu yang tidak benar (berbohong).
Musāvādā telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari: sesuatu
atau hal yang tidak benar (atthama-vatthu),
mempunyai niat untuk menyesatkan (visamudanacittam),
berusaha untuk menyesatkan (tajjo vayanto),
dan orang lain menjadi tersesat (parassa tadatthavijanam).
Oleh karena itu, hindarilah berbohong kepada siapa saja, sebab dengan berbohong
dapat menimbulkan kekerasan..
5)
Surāmerayamajjapamādatthānā
Istilah surāmerayamajjapamādatthānā terdiri dari empat kata, surā mempunyai arti minuman keras hasil
dari penyulingan, meraya mempunayai
arti minuman keras hasil dari hasil peragian, majja mempunyai berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang tidak
sadarkan diri, dan pamādatthānā berarti dasar atau landasan untuk timbulnya
kelengahan. Jadi surāmerayamajjapamādatthānā
mempunyai makna memakai sesuatu yang memabukan atau membuat tidak sadarkan
diri yang menjadi dasar timbulnya kelengahan dan kecerobohan.
Sila kelima ini telah dilanggar,
apabila terdapat lima macam faktor sebagai berikut: sesuatu yang merupakan surā, meraya, atau majja (surāmerayamajjabhavo),
adanya niat untuk minum dan menggunakannya (pivutukamata),
meminum atau menggunakannya (pivanam),
dan timbul gejala-gejala mabuk (maddanam).
Oleh sebab itu, berusahalah menghindari minum-minuman keras, karena dengan
minum-minuman keras dapat memyebabkan tindak kekerasan.
D. Pengaruh Pancasila Buddhis Terhadap Tindak
Kekerasan.
Pemahaman
mengenai pancasila buddhis di dalam
kehidupan sehari-hari dapat menekan tindak kekerasan. Sila pertama menghindari
pembunuhan, berarti mengembangkan cinta kasih dan menghilangkan kebencian.
Dengan demikian, seseorang dapat hidup dengan damai karena tanpa adanya
kekerasan ataupun perang senjata. Dalam Dhammapada
atthakatha (Aggabalo, 2007: 67) Buddha menjelaskan bahwa kenbencian akan
berakhir jika dibalas dengan cinta kasih.
Sila
kedua yaitu menghindari pencurian, berarti tidak melakukan pencurian (korupsi),
melainkan selalu gemar untuk berdana, memiliki moral yang baik, kerelaan untuk
berkorban demi orang lain. Sila ketiga, yaitu tidak berbuat asusila. Tidak
berbuat asusila di sini berarti tidak melakukan hubungan seksual dengan orang
lain (selain istri). Seorang yang berbuat asusila secara benar akan lebih
dihormati oleh orang lain karena mencerminkan seseorang yang tidak diperbudak
oleh nafsu indriawi. Sila keempat yaitu tidak berbohong. Tidak berbohong dalam
hal ini adalah berkata sesuai dengan kenyataannya dan berkata baik. perkataan baik
dapat diartikan perkataan diucapkan dengan tujuan dan cara yang sesuai dengan Dhamma,
misalnya nasihat. Sedangkan sila kelima yaitu tidak mengkonsumsi makanan atau
minuman yang memabukkan. Orang yang mengkonsumsi makanan atau minuman yang
memabukkan akan berakibat pada lemahnya kesadaran. Orang yang lemah
kesadarannya akan mempengaruhi segala tindakannya dan cenderung menjadi
tindakan yang tidak baik. Oleh sebab itu, perlunya kewaspadaan pada seseorang
dalam kehidupan sehari-hari supaya tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
Jadi dengan pemahaman dan aplikasi pancasila buddhis di dalam kehidupan
sehari-hari dapat mengurangi dan menekan tindakkan kekerasan. Tindak kekerasan
yang muncul bermula dari lobha, dosa, dan moha yang ada dalam diri kita, oleh
karena itu perlunya kewaspadaan terhadap segala sesuatu yang muncul.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kekerasan
dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu kekerasan fisik dan kekerasan
psikis (non fisik). Tindak kekerasan pada umumnya muncul akibat adanya,
ketidakpuasan terhadap pemegang
kebijakan, sportivitas, kesenjangan ekonomi dan sosial, kemiskinan, psikologi
massa, dan tayangan media massa.
Kekerasan
dapat ditekan apabila seseorang dapat mengaplikasikan pancasila buddhis dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan mengaplikasikan pancasila buddhis akan
memunculkan sikap cinta kasih terhadap
sesama dan menghilangkan kebencian, memiliki
moral yang baik, tidak diperbudak oleh nafsu indriawi, selalu waspada, kerelaan untuk
berkorban demi orang lain dan menghargai satu sama lain.
B. Saran
Sesuai
pemahaman dari paper ini, penulis menyarankan kepada setiap individu maupun
kelompok dapat mengaplikasikan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila buddhis, karena aplikasi pancasila buddhis berpengaruh terhadap
tindak kekerasan. Penelitian atau penulisan berkaitan dengan “Aplikasi Pancasila Buddhis untuk Mengatasi
Kekerasan” dapat dilanjutkan dengan penelitian lain yang masih berkaitan,
misalnya Aplikasi Pancasila Buddhis
untuk Menciptakan Model Kepemimpinan yang Baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dhammananda, Sri. 2008. Rumah
Tangga Bahagia. Yogyakarta: Vidyasena Production.
http://priyadi.net/archives/2005/07/21/kekerasan-pada-sistem-pendidikan-indonesia/ (di akses tanggal 22 Februari 2012).
http://www.geocities.com/aloysiusgb/shortopinions/KekerasandanKemiskinan.htm
(di akses tanggal 22 Februari 2012).
Rashid, Teja S.M. 2009. Sila
dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi.
Suryabrata, Sumadi. 2005. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Thomas Santoso,
2002. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Tim Penyusun.
2003. Materi Kuliah Agama Buddha untuk
Perguruan Tinggi Agama Buddha. Jakarta: CV. Dewi Kayana Abadi.
______. 2007. Dhammapada Atthakatha.
Diterjemahkan oleh Bhikkhu Aggapalo
Jakarta: Perpustakaan Narada.