Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Aplikasi Pancasila Buddhis untuk Mengatasi Kekerasan

BAB I PENDAHULUAN A.   Latar Belakang Pada era sekarang di Indonesia mulai banyak bermunculan tindak kekerasan, Indonesia yang dahulunya terkenel dengan negeri yang aman, penduduknya ramah-ramah, suka damai, dan tidak suka tindak kekerasan itu luntur. Tindak kekerasan sekarang bermunculan di mana-mana, mulai dari dunia pendidikan, rumah tangga, dan sosial masyarakat, baik di kota-kota besar ataupun pada pelosok pedesaan. Tindak kekerasan tanpa kita sadari bermula dari perkembangan teknologi yaitu televisi. Dewasa ini televisi bukanlah barang mewah dan sulit untuk diperoleh. Televisi memudahkan seseorang untuk mendapatkan informasi dan hiburan. Akan tetapi tayangan televisi tanpa disadari memberikan andil yang besar terhadap timbulnya tindak kekerasan. Seseorang cenderung meniru sesuatu tindakan yang ada di televisi. Oleh karena itu diperlukanya solusi terhadap bentuk tindakkan kekerasan yang muncul. Dalam usaha mencari solusi tersebut penulis mengaitkan dengan pancasila b

SOCIAL AND LANGUAGE OF BUDDHISM

A.       Pendahuluan Manusia dikatakan sebagai makhluk dwi tunggal yaitu makhluk individu dan makhluk sosial. Walaupun manusia merupakan individu tetapi tidak dapat lepas dari sosial yaitu adanya hubungan dan keterkaitan dengan yang lain. Hal ini terlihat dalam kehidupan masyarakat bahwa manusia tidak akan dapat hidup seorang diri di dunia. Oleh karena itu, manusia memerlukan lingkungan sosial untuk mendapat kelangsungan hidupnya. Dalam kehidupan sosial tersebut juga tidak terlepas dari masalah-masalah sosial yang muncul, diantara, masalah ekonomi, ketidakadilan, dan kekerasan terhadap lingkungan. Hal yang diperlukan adalah tindakan atau metode untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Oleh karena itu, pada paper ini akan membahas tentang bagaimana keterlibatan sosial dalam Buddhisme. B.       Pembahasan a.        Konsep sosial dalam Buddhisme Dalam agama Buddha hukum-hukum moral tidak dibuat atau ditentukan oleh pribadi tertentu, melainkan merupakan bagian tak terp

HERMENEUTIK

HERMENEUTIK A.     Latar Belakang Pada zaman dahulu, metode atau cara dalam penafsiran sangatlah sedikit. Hal ini yang menyebabkan kehidupan pada masa itu lebih cenderung bersifat monoton dan ortodok. Di zaman dahulu sebelum tahun masehi, sistem pendidikan hanya bersifat sederhana dan cara yang digunakan baru dengan sisitem oral atau dari mulut kemulut, dan kebanyakan mereka cenderung percaya begitu saja dengan apa yang dikatakan oleh guru mereka tanpa melakukan suatu verifikasi. Dari situlah maka kehidupan pada masa itu masih sangat kaku dan hanya sedikit memunyai aspek seni. Sistem penafsiran pada saat itu masih sangat sederhana yaitu mereka hanya menafsirkan apa yang terdapat dalam teks-teks tanpa menganalisis secara mendalam. Banyaknya perbedaan pola pikir dari masing-masing individu, kurangnya metode atau cara dalam menafsirkan segala sesuatu, banyaknya pandangan mengenai cara penafsiran, dan sebagainya menyebabkan kita hanya bersifat pasif dan statis tanpa berani melakuka

Agama Buddha dan Konsep Hukuman

A.   Latar Belakang Di Indonesia pada era sekarang banyak terjadi tindak kejahatan, mulai dari kelas ringan, sedang, dan berat. Kejahatan yang timbul  disebabkan oleh dua faktor, yaitu dari dalam diri dan dari luar diri. Kejahatan dari dalam diri maksudnya kejahatan yang dilakukan atas dasar dorongan diri sendiri dan tanpa dipengaruhi oleh orang lain, sedangkan kejahatan dari luar diri yaitu kejahatan yang dilakukan karena faktor dari luar, sebagai contoh lingkungan dan pendidikan. Dengan adanya kejahatan yang timbul, maka muncul pula hukuman dan/denda. Konsep hukuman muncul karena usaha manusia dalam mengurangi tindak kejahatan dan kriminalitas yang muncul. Akan tetapi dengan adanya konsep hukuman justru tidak membuat pelaku kejahatan gerah dan kapok, justru tindak kejahatan semakin meningkat. Bagaimanakah konsep hukuman yang sebenarnya.? dan bagaimana konsep hukuman yang terdapat pada Agama Buddha.? Atas dasar tersebut pada kesempatan kali ini kami akan membahas Agama Buddha dan

Alasan Bhikkhuni Tidak Ikut dalam Konsisli Pertama

Dewasa ini dalam menciptakan kedamaian dan ketentraman diperlukanya aturan, karena dengan aturan kita dilatih untuk disiplin. Aturan dibuat di mana-mana, mulai dari sekolah, lalu lintas, rumahtangga,dll. Akan tetapi pada kenyataanya aturan yang dibuat terkadang justru untuk dilanggar. Hal demikian juga terjadi sejak zaman dulu setelah Sang Buddha Parinibbana . Oleh karena itu, diperlukannya ulasan kembali mengenai aturan-aturan ( vinaya ), dengan tujuan agar aturan yang telah dubuat tidak lagi dilanggar. Pengulasan kembali mengenai aturan-aturan ( vinaya ) yang telah ada dalam kebhikkhuan disebut dengan konsili (Rashid, 1996: 156). Konsili pertama diadakan karena adanya pernyataan Bhikku Subadha yang tidak sesuai dengan Dhamma dan Vinaya . Bhikku Subadha (Vinaya Pitaka II, 284) mengatakan, dengan Parinibbana -nya Sang Buddha janganlah bersedih, sebab dengan Parinibbana -nya Sang Buddha membuat kita dapat bebas untuk bersenang-senang, dan tidak lagi menderita. Dari pernyataan Bhikk

THE MESSAGE OF THE BUDDHA IN THE CONTEMPORARY WORLD

THE MESSAGE OF THE BUDDHA IN THE CONTEMPORARY WORLD A.     Latar Belakang Teknologi dan agama sulit untuk disatukan tetapi antara agama dan ilmu pengetahuan dapat saling melengkapi, teknologi yang berkembang p engetahuan ilmiah dan teknologi memberi kita kontrol luar biasa terhadap lingkungan kita. Namun Perkembangan ilmiah besar sendiri tidak memberikan visi untuk menghadapi tantangan menghadapi diri kita sendiri. Tekhnologi dan ilmu pengetahuan belum bisa menyelesaikan maslah dasar kehidupan atau tidak mampu menyelesaikan masalah penderitaan yang dihadapi dalam kehidupan. B. Pembahasan 1.       Pondasi atau dasar pemikiran natural dari Buddha A gama Buddha adalah yang paling metafisik. Dua pandangan metafisik kunci lazim pada masa Sang Buddha adalah konsep tentang Tuhan dan jiwa Yang pertama dipahami sebagai sumber alam semesta. Dalam agama Hindu, Tuhan dipahami sebagai esensi universal ( Paramatma ) dan jiwa masing-masing individu ( jivātmā ) dipahami untuk memiliki asa